KEBIJAKAN PEMERIKSAAN PAJAK 2018
Pada dasarnya, ada beberapa alasan mengapa wajib pajak menjadi sasaran/objek pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Jika mengacu pada ketentuan undang-undang, pemeriksaan pajak bisa terjadi atas adanya dua sebab, yaitu pertama untuk Wajib Pajak yang mengajukan permohonan restitusi dan kedua adalah pemeriksaan berbasis analisis risiko karena ketidakpatuhan Wajib Pajak.
Wajib Pajak yang mengajukan restitusi akan menjalani tahapan pemeriksaan oleh pemeriksa pajak untuk memastikan kepatuhan mereka dalam menjalankan kewajibannya. Sementara Wajib Pajak yang didapati ada indikasi ketidakpatuhan, ditindaklanjuti dengan proses pengumpulan data terlebih dahulu.
Dalam rangka pemilihan Wajib Pajak yang
menjadi prioritas pemeriksaan dengan lebih objektif dan tepat sasaran,
perbaikan peraturan perpajakan di bidang pemeriksaan, serta sejalan dengan arah
reformasi perpajakan yang sedang dilakukan DJP, diperlukan revitalisasi proses
bisnis pemeriksaan yang telah ada.
Saat ini telah terbit SE-15/PJ/2018 tanggal 13 Agustus 2018 yang merupakan petunjuk bagi petugas pajak untuk dapat melakukan pemeriksaan pajak dengan indikasi ketidakpatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, dimana pokok inti dari SE tersebut kami jabarkan berikut :
Dalam hal dilakukan oleh Kanwil DJP, Penentu Penerimaan, maka indikasi ketidakpatuhan harus mencakup antara lain:
- Analisis Corporate Rate to Turn Over Ratio (CTTOR), Gross Profit Margin (GPM), dan/atau Net Profit Margin (NPM) dibandingkan dengan benchmarking industri sejenis (B2B). Risiko ketidakpatuhan tinggi apabila selisih antara analisis tersebut dengan rata-rata industri lebih dari 10%
- Memiliki transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, terutama yang berkedudukan di negara yang memiliki tarif pajak efektif yang lebih rendah dari tarif pajak efektif di Indonesia
- Memiliki transaksi afiliasi dalam negeri intra grup dengan nilai transaksi lebih dari 50% dari total transaksi
- Memiliki transaksi afiliasi dalam negeri dengan anggota grup yang memiliki kompensasi kerugian
- Wajib Pajak tidak pernah diperiksa All Taxes 3 tahun terakhir
- Wajib Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak dengan NPWP 000 lebih dari 25% dari total FP yang diterbitkan dalam satu masa pajak, dan/atau
- Terdapat analisis Informasi, Data, Laporan dan
Pengaduan (IDLP) dan Center for Tax Analysis (CTA)
Dalam hal dilakukan oleh KPP Pratama atas Wajib Pajak Badan, maka indikasi ketidakpatuhan harus mencakup antara lain:
- Ketidakpatuhan pembayaran dan penyampaian SPT
- Belum pernah diperiksa All Taxes dalam 3 tahun terakhir
- Analisis Corporate Rate to Turn Over Ratio (CTTOR), Gross Profit Margin (GPM), Net Profit Margin (NPM) dibandingkan dengan benchmarking industri sejenis di Kanwil terkait. Risiko ketidakpatuhan tinggi apabila selisih antara analisis tersebut dengan rata-rata industri lebih dari 20%
- Ketidaksesuaian antara profil SPT dengan profil ekonomi (usaha dan kekayaan) sesungguhnya berdasarkan fakta lapangan
- Memiliki transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, terutama yang berkedudukan di negara yang memiliki tarif pajak efektif yang lebih rendah dari tarif pajak efektif di Indonesia
- Memiliki transaksi afiliasi dalam negeri intra grup dengan nilai transaksi lebih dari 50% dari total transaksi
- Memiliki transaksi afiliasi dalam negeri dengan anggota grup yang memiliki kompensasi kerugian
- Wajib Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak dengan NPWP 000 lebih dari 25% dari total FP yang diterbitkan dalam satu masa pajak, dan/atau
- Terdapat analisis IDLP dan CTA
Dalam hal dilakukan oleh KPP Pratama atas Wajib Pajak Orang Pribadi, maka indikasi ketidakpatuhan harus mencakup antara lain:
- Ketidakpatuhan pembayaran dan penyampaian SPT
- Belum pernah diperiksa All Taxes dalam 3 tahun terakhir
- Ketidaksesuaian
antara profil SPT dengan: Skala usaha Wajib Pajak, Harta Wajib Pajak (investasi, kepemilikan saham, dll), Gaya hidup Wajib Pajak, Profil pinjaman Wajib Pajak
Terdapat analisis IDLP dan CTA.
Modus Ketidakpatuhan :
- Wajib Pajak tidak
melaporkan omset yang sebenarnya misalnya: Melaporkan penghasilan sebagai utang, Menurunkan harga jual dari yang sebenarnya, Tidak melaporkan kuantitas penjualan yang sebenarnya, Penjualan off balance sheet, Tidak Melaporkan Pembelian sehingga HPP dan omset lebih rendah dari yang seharusnya.
- Wajib Pajak membebankan biaya
yang tidak seharusnya dengan cara: Membuat bukti potong 000 (fiktif), Pembebanan jasa antar perusahaan afiliasi, Pencadangan yang tidak sesuai ketentuan,
Pembebanan tidak sesuai dengan 3M, Wajib Pajak mengkreditkan PM/membebankan biaya yang tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya. - Modus PPN : Melaporkan penjualan lokal sebagai ekspor, Penggunaan data Faktur Pajak dengan pembeli tidak ber-NPWP
- Aggressive tax planning : Debt to Equity Ratio (DER) di atas 4:1, Controlled Foreign Company (CFC), Indikasi Transfer Pricing
- Treaty abuse
Berdasarkan indikasi pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak sesuai dengan SE diatas, tentu sebagai Wajib pajak perlu kembali memeriksa apakah pelaporan perpajakan telah dipenuhi secara baik dan benar dengan memastikan kembali bahwa tidak ada kriteria ketidakpatuhan sebagaimana tersebut dalam indikasi diatas.
Dalam hal dila
Tambahkan Komentar