Takut Pemeriksaan Pajak?

Takut Pemeriksaan Pajak?

Takut Pemeriksaan Pajak?

8 Fakta yang Wajib Anda Ketahui

 Apakah Anda khawatir akan diperiksa pajak?  Merasa cemas ketika diperiksa? Pernahkah mengalami pemeriksaan pajak dan punya pengalaman buruk dengan pemeriksaan? Barangkali sebagian dari kita pernah mengalaminya. Tapi sebagian besar wajib pajak sebenarnya belum punya pengalaman diperiksa.

 Mari telisik lebih dalam agar kita punya pemahaman yang baik tentang apa dan bagaimana pemeriksaan pajak, karena tak kenal maka tak sayang. Tak mau kenal, jangan sampai bernasib malang.

 1. Kenapa sih ada pemeriksaan pajak?

 Sejak tahun 1984 Indonesia mengubah sistem pemungutan pajak dari official assessment system (petugas pajak berwenang menetapkan besarnya pajak terutang) menjadi self assessment system (wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung/memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutangnya). Ini bagian dari penghormatan hak warga negara yang di dalam negara demokratis kedudukannya setara dengan negara. Konsekuensinya, benar tidaknya pajak yang dibayar kini tergantung pada kejujuran wajib pajak. Maka UU Perpajakan mengatur wajib pajak membayar pajak terutang sesuai keadaan yang sebenarnya tanpa bergantung pada penetapan kantor pajak.

 Di sisi lain, belum semua wajib pajak mematuhi ketentuan UU. Maka UU memberi kewenangan kepada kantor pajak untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan wajib pajak. Kenapa perlu diuji? Supaya ketahuan mana yang sudah patuh dan yang belum patuh. Menjadi tidak adil jika ada wajib pajak patuh, di sisi lain wajib pajak yang tidak patuh dibiarkan. Pemeriksaan pajak dilakukan terhadap mereka yang terindikasi tidak patuh, sehingga setelah diperiksa akan menjadi patuh.

 Apa pemeriksaan satu-satunya cara? Tidak. Bahkan UU mengatur fungsi pembinaan agar wajib pajak memahami hak dan kewajibannya. Maka penyuluhan, sosialisasi, dan edukasi menjadi penting. Hal ini dijalankan terus untuk membangun kesadaran. Akan tetapi cara ini tidak selamanya efektif. Nyatanya jumlah wajib pajak masih sedikit, yang melapor SPT juga belum optimal, apalagi yang sukarela membayar. Terhadap mereka inilah pemeriksaan pajak ditujukan.

 Jadi pemeriksaan pajak adalah konsekuensi logis dari self assessment system, supaya kepatuhan dan kejujuran dapat diuji untuk memenuhi rasa keadilan wajib pajak patuh. Tidak mau ada pemeriksaan? Oh, apakah mau kembali ke official assessment, di mana pajak terutang ditetapkan kantor pajak? Yakin?

 2. Benarkah kepatuhan kita masih rendah?

 Faktanya, kepatuhan pajak kita masih terbilang rendah. Tax coverage ratio (nisbah realisasi terhadap potensi) baru sebesar 72%. Nisbah penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) masih rendah, berkisar 11%-12% atau hanya naik 0,1% saja dalam rentang 2004-2014. Angka ini masih di bawah Filipina (14%), Malaysia (16%), Thailand (17%), Korea Selatan (25%), Afrika Selatan (27%), dan Brasil (34%). Jauh di bawah rerata negara OECD (34%) atau kebutuhan minimal MDGs (25%). Artinya, kue ekonomi yang membesar belum diimbangi tingkat pembayaran pajak yang tinggi.

 Jumlah wajib pajak kita juga belum optimal, baru 36.031.972 wajib pajak (2017), dengan rincian 2.922.712 WP Badan, 6.222.442 WP OP Non karyawan, dan 26.886.818 WP OP Karyawan. Rincian pembayaran pajak per jenis pajak (2017): Rp 480 T (PPN), Rp 208 T (PPh Badan), Rp 117 T (PPh Pasal 21), Rp 106 T (PPh Final), Rp 50 T (PPh Migas), Rp 16,7 T (PBB P3), Rp 7,8 T (PPh OP Non karyawan).

 Kita simak data amnesti pajak ya. Sebanyak 965.983 wajib pajak ikut, dengan Rp 4.865 T deklarasi harta, Rp 114 T uang tebusan, dan Rp 147 T repatriasi dana. Data ini tidak pernah diungkap melalui SPT wajib pajak dan baru diungkap ketika ada pengampunan pajak.

 3. Objek Pemeriksaan “Lu Lagi, Lu Lagi”, benarkah?

 Secara teoretik, setiap wajib pajak berpeluang diperiksa. Tapi UU jelas mengatur pemeriksaan dilakukan untuk menguji kepatuhan. Logikanya, jika sudah patuh maka tidak akan diperiksa. Dan sebaliknya, jika belum patuh dan diperiksa, maka ia akan menjadi patuh. Kepatuhan ini yang harus dipertahankan di masa mendatang. Mari lihat datanya. Per 2017, kita memiliki jumlah wajib pajak terdaftar 36 juta (26,8 juta karyawan, 6,2 juta non karyawan, 3 juta badan). Lalu berapa banyak yang diperiksa?

 Tahun 2017, realisasi tingkat keterperiksaan wajib pajak (Audit Coverage Ratio, ACR) sebesar 0,45% atau sekitar 8.757 wajib pajak orang pribadi diperiksa, dan 2,88% atau 34.148 wajib pajak badan diperiksa. Ini masih di bawah ACR ideal menurut IMF yakni 3-5%. Tahun 2017 204.584 surat ketetapan pajak terbit, 193.384 SKP tidak diajukan keberatan, 11.200 SKP diajukan keberatan, hasilnya 4.938 diterima dan 6.262 ditolak/dikabulkan sebagian. Sedikit sekali kan wajib pajak yang diperiksa? Jadi sebenarnya sebagian besar wajib pajak tidak pernah diperiksa atau sekurang-kurangnya belum menjadi sasaran pemeriksaan pajak.

 Lantas, benarkah seorang wajib pajak jadi langganan pemeriksaan? Bisa jadi karena rutin mengajukan restitusi (harus diperiksa), atau masuk kriteria seleksi dan berisiko tinggi. Idealnya wajib pajak yang sudah pernah diperiksa tidak akan jadi langganan pemeriksaan. Justru itulah terbit Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan.

 4. Kenapa terbit SE-15/PJ/2018?

 Harus diakui, pemeriksaan pajak adalah salah satu area yang sensitif dan menjadi salah satu faktor penentu dalam membangun kepercayaan. Di satu sisi kepatuhan masih rendah, dan di sisi lain masih terdapat pelaksanaan pemeriksaan yang belum standar, subyektif, dan menimbulkan ketidakpastian. Merespon hasil amnesti pajak dan transparansi informasi dan data keuangan untuk tujuan perpajakan, Kemenkeu melakukan reformasi perpajakan. Salah satunya adalah memanfaatkan momentum terbangunnya mutual trust antara otoritas pajak dan wajib pajak, melalui kebijakan pemeriksaan yang lebih fair, profesional, dan akuntabel.

Maka Ditjen Pajak menyempurnakan aturan demi terselenggaranya keseragaman pedoman teknis pemeriksaan seluruh jenis pajak, termasuk kebijakan pemeriksaan PBB (SE-25/PJ/2015), Bea Meterai (PMK No. 70/PMK.03/2014) dan kebijakan pemeriksaan bersama (PMK No. 34/PMK.03/2018).

 Ada beberapa perbaikan siginifikan yang patut diapresiasi sebagai upaya DJP membenahi governance pemeriksaan pajak, termasuk proses bisnis perencanaan pemeriksaan yang bersifat Risk Based Audit.  SE ini dibuat justru untuk menjaga kualitas pemeriksaan DJP sehingga memiliki tujuan dan sasaran yang lebih jelas, indikator kepatuhan dan modus ketidakpatuhan yang lebih terukur, dan kriteria efektivitas pemeriksaan yang lebih terarah.

Sebagai upaya peningkatan efektivitas pemeriksaan, SE ini mengatur sejumlah ‘indikator ketidakpatuhan’ sehingga proses pemilihan WP yang akan diperiksa dapat dilakukan secara objektif, transparan dan tepat sasaran, serta berdasarkan pada kriteria-kriteria pemilihan yang kualitasnya dapat diandalkan.

 SE ini juga mencerminkan upaya DJP untuk menyelenggarakan revitalisasi proses bisnis pemeriksaan agar berkualitas dan secara efektif dapat terselesaikan sehingga nilai tunggakan pajak dan upaya hukum pasca pemeriksaan dapat diminimalisir, restitusi dapat terkendali, serta sustainable compliance dapat dibangun. Dua kata kunci: perencanaan (yakni pemilihan WP yang akan diperiksa) dan pelaksanaan (melalui pengendalian mutu) diperkuat.

 5. Pemeriksaan pajak akan agresif?

 Ya, pemeriksaan pajak akan agresif bagi mereka yang tidak patuh. Sistem administrasi pajak akan didasarkan pada CRM (Compliance Risk Management): yang patuh diberi penghargaan, yang tidak patuh diperiksa. SE ini mengatur penyusunan Peta Kepatuhan dan Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi (DSP3). Beberapa bahan pertimbangan: riwayat pemeriksaan WP yang bersangkutan, tunggakan pemeriksaan di KPP, beban kerja Pemeriksa Pajak, efek jera (deterrent effect) dari WP yang akan diperiksa, dan target penerimaan dari pemeriksaan dan penagihan.

 WP yang benar-benar akan masuk dalam DSP3 adalah WP yang telah diberikan restitusi (Pasal 17C dan 17D UU KUP/ Pasal 9 (4c) UU PPN), WP yang menyampaikan SPT rugi, WP yang mengubah tahun buku, metode pembukuan, dan/atau revaluasi aktiva tetap, dan/atau WP yang diusulkan pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko. Jadi DSP3 ini hanyalah tools bagi kantor pajak untuk mempertajam seleksi WP Tidak Patuh yang prioritas diperiksa.

 6. Bagaimana antisipasi agar tidak jadi sasaran pemeriksaan?

 Caranya, jadilah  Wajib Pajak Patuh! yakni menjauhi “hal-hal buruk” yang menjadi indikasi ketidakpatuhan, antara lain:

 (i) Indikasi Ketidakpatuhan Tinggi (adanya tax gap), seperti profil SPT yang jauh berbeda dengan profil ekonomi WP yang sebenarnya (tercermin dari Analisis wajar CTTOR, GPM, dan NPM yang dibandingkan dengan industri sejenis, bertransaksi afiliasi dan lawan transaksi berkedudukan di yurisdiksi dengan tarif efektif lebih rendah, belum pernah diperiksa 3 th terakhir, tidak patuh membayar pajak dan menyampaikan SPT, bertransaksi dengan WP tidak punya NPWP, profil bisnis WP di SPT tidak sesuai, muncul IDLP, dll);

 (ii) Indikasi Modus Ketidakpatuhan Wajib Pajak, seperti WP tidak melaporkan omset dengan sebenar-benarnya, membebankan biaya yang tidak seharusnya, melakukan modus ketidakpatuhan PPN (melaporkan penjualan lokal sebagai ekspor, pemalsuan FP untuk kepentingan pengkreditan PM, dll), melakukan aggressive tax planning (rasio DER di atas 4:1, memiliki CFC, indikasi TP, treaty abuse, dll); 

 (iii) Identifikasi Nilai Potensi Pajak, dihitung oleh KPP dengan mengalikan tarif pajak dengan tax gap atau diisi dengan nilai restitusi yang sudah diberikan, nilai kompensasi kerugian yang akan dibayarkan, selisih nilai revaluasi, dsb;

 (iv) Identifikasi Kemampuan WP untuk Membayar Ketetapan Pajak (collectability) dalam rangka optimalisasi pencairan dari hasil pemeriksaan; dan

 (v) Identifikasi Berdasarkan Pertimbangan Tertentu oleh Dirjen Pajak.

 Tips lain, pastikan agar pemenuhan kewajiban perpajakan telah dilakukan dengan benar, pembayaran dan pelaporan tepat pada waktunya, lakukan rekonsiliasi pajak secara berkala, lakukan diagnostic review, komunikasi dengan Account Representative di kantor pajak atau konsultan terpercaya. Publik juga terus terlibat mengawasi supaya pelaksanan pemeriksaan semakin baik, objektif, dan kredibel.

 7. Kenapa petugas pajak tidak menyasar yang di luar kandang?

Setuju, berikan kelonggaran nafas dan kesempatan untuk menunjukkan kepatuhan bagi yang ikut amnesti pajak.

 Ekstensifikasi adalah salah satu cara untuk menggali potensi pajak, karena memastikan setiap orang yang memenuhi syarat seharusnya membayar pajak. Pajak adalah gotong royong, maka demi keadilan, semua yang mampu harus mau membayar pajak. Kita sudah berlimpah data amnesti pajak (tinggal diawasi) dan data dari AEoI (Automatic Exchange of Information). Tinggal dilakukan profiling karena esensi sistem perpajakan hanya: siapa melakukan apa dan siapa memiliki apa.

 Maka kegiatan penyisiran potensi pajak, seperti dilakukan di Medan baru-baru ini, adalah bagian memastikan bahwa para pelaku usaha sudah terdaftar sebagai wajib pajak dan disuluh supaya paham ada fasilitas berupa “Pajak UMKM” sebesar 0,5% yang sebaiknya dimanfaatkan. Lha kalau kegiatan seperti ini ditolak dan dipersoalkan, bukankah kita yang sudah menjadi wajib pajak dan cukup patuh, malah akan terus menanggung beban yang tidak adil?

 Yang penting semua tindakan dilakukan dengan baik, didasari surat tugas yang jelas, sesuai prosedur, didahului komunikasi, dan mengedepankan upaya-upaya persuasi. Mari kita, sebagai bagian masyarakat dan wajib pajak, terlibat aktif melakukan ekstensifikasi agar penerimaan pajak semakin optimal dan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

 8. Apa sih yang sudah diberikan Pemerintah?

 Alih-alih melakukan penegakan hukum, Pemerintah justru memberikan pengampunan pajak. Wajib Pajak diberi kesempatan berbenah. Banyak insentif diberikan, baik tax holiday maupun tax allowance, yang dilonggarkan kriteria dan diperluas cakupannya. Bahkan pelayanan restitusi dipercepat, dan pajak UMKM turun menjadi 0.5%. Ekspor impor juga difasilitasi dengan baik. Alokasi tax expenditure (pengecualian, pengurangan, kenaikan PTKP, dll) mecapai Rp 154 T (2017).

 Belanja APBN juga semakin baik, terutama untuk anggaran kesehatan, pendidikan, bantuan sosial, transfer daerah dan dana desa yang semakin tinggi dari tahun ke tahun.

 Kalau bersih tak perlu risih, jika benar tak perlu gusar, dan bila sudah patuh tak perlu ikut gaduh. Lunasi pajaknya, awasi penggunaannya. Bijak jadi wajib pajak, Pemerintah yang baik, akan adil dan bijak. Tetap berbisnis dengan tenang, karena kita semua saling sayang.....

 #BanggaBayarPajak


Komentar

Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar